Aparatur Sipil Negara Antara Cita dan Realita
- Mpi
- Oct 10, 2020
- 4 min read

photo source unsplash.com
Lulus dari perguruan tinggi negeri menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi setiap anak Indonesia. Namun, tantangan selanjutnya yang akan dihadapi, yaitu mendapatkan pekerjaan yang dicita-citakan. Menjadi Pegawai Negeri Sipil yang merupakan bagian dari Aparatur Sipil Negara masih menjadi cita-cita yang favorit bagi lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Mendapatkan tunjangan keluarga, pensiun, jaminan keamanan dari risiko pemecatan, serta memiliki kebanggaan tersendiri, menjadi alasan yang sering didengar bagi para pencari kerja yang berminat menjadi Aparatur Sipil Negara. Di lain sisi, pandangan mengenai Aparatur Sipil Negara yang malas, menjadi beban keuangan negara telah menjadi stigma buruk yang membayangi.
Berawal dari keinginan memberikan tenaga dan pikiran dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, keresahan sebagai anak bangsa, serta ingin mengubah stigma negatif mengenai Aparatur Sipil Negara. Saya menguatkan niat untuk menjadi Aparatur Sipil Negara, dari latar belakang keluarga yang tidak ada satupun menjadi Aparatur Sipil Negara sebelumnya, dan dengan harapan apabila masuk ke dalam sistem, banyak hal yang bisa disumbangkan untuk kemajuan dan pembangunan bangsa dan Negara Indonesia.
Sudah 5 (lima) tahun lamanya. Banyak hal yang saya pelajari sebagai Aparatur Sipil Negara, mulai dari koordinasi, birokrasi, anggaran, sampai dengan sistem kerja yang saya alami selama saya mengabdi. Masalah utama yang menjadi tantangan ke depan yang menurut saya penting salah satunya adalah sistem kerja Aparatur Sipil Negara.
Sistem kerja Aparatur Sipil Negara masih banyak yang menggunakan metode konservatif, bahasa milenialnya adalah “old school”, mulai dari tata naskah dinas, metode layanan, dokumen keuangan, naskah kebijakan, sampai dengan pengelolaan data terkait kepegawaian. Menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan kemunculan artificial intelligence menjadi tantangan tersendiri bagi Aparatur Sipil Negara. Bukan hanya menuntut Aparatur Sipil Negara untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi, tetapi juga memaksa agar sistem kerja ditransformasikan ke digital berbasis teknologi informasi yang menstimulasi Aparatur Sipil Negara agar lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan tugasnya.
Aparatur Sipil Negara perlu dibudayakan agar “melek teknologi” dan berinovasi. Hal tersebut dapat terwujud tentu dengan adanya komitmen dari pimpinan dari setiap instansi, baik pusat maupun daerah untuk mendayagunakan teknologi sebagai metode utama dalam melaksanakan tugas. Transformasi digital di beberapa instansi sudah terlihat implementasinya. Namun, tidak merata di semua instansi pemerintahan, karena bergantung pada anggaran yang tersedia, terutama instansi yang ada di daerah yang belum mendapatkan fasilitas atau layanan internet yang memadai. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari pimpinan untuk bisa menyediakan sarana dan prasarana dasar agar teknologi menjadi mitra utama bagi Aparatur Sipil Negara. Sistem informasi yang sudah terbangun pun belum semuanya terintegrasi, sehingga dengan banyaknya sistem informasi juga akan membuat menjadi lebih rumit, seperti contohnya sistem informasi mengenai kepegawaian. Sistem informasi kepegawaian di tempat saya bekerja banyak ragam dan kegunaannya, antara lain e-kinerja sebagai bentuk daring dari sasaran kinerja pegawai, dimana data yang terdapat dalam dokumen dipindahkan ke dalam sistem, sistem kepegawaian yang berisi data pegawai, e-tubel yang berisi mengenai data pegawai tugas belajar, dimana sistem-sistem tersebut belum terintegrasi satu sama lain. Selain terintegrasi dalam satu sistem di instansi tersebut, sistem informasi juga perlu diintegrasikan dengan instansi pembina agar data yang ada menjadi lebih seragam dan sejalan dengan kebijakan mengenai Satu Data Indonesia.
Aparatur Sipil Negara yang “melek teknologi” dan berinovasi juga dapat dibentuk dari peningkatan kompetensi. Peningkatan kompetensi menjadi pendorong agar Aparatur Sipil Negara juga dapat menghadapi persaingan global, terutama menghadapi perwujudan artificial intelligence. Peningkatan kompetensi sudah menjadi hak dari setiap Aparatur Sipil Negara semenjak menjadi calon Aparatur Sipil Negara, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) bahwa setiap Aparatur Sipil Negara memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi, pengembangan kompetensi tersebut antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus, dan penataran.
Majalah The Economist pada bulan Mei 2017 mengeluarkan laporan khusus bahwa “The world’s most valuable resource is no longer oil, but data”.
Permasalahan dalam pengembangan kompetensi Aparatur Sipil Negara yang saya hadapi, yaitu kurang berfungsinya perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia sejak awal penempatan sampai dengan pengembangan karir. Pada saat ini yang terjadi, peningkatan kompetensi tidak betul-betul direncanakan sejak awal Aparatur Sipil Negara ini ditempatkan. Bahkan terjadi, pada saat pengadaan formasi calon pegawai dan penempatan tidak sesuai, sehingga berpengaruh pada pengembangan kompetensi dan promosi yang akan dilaksanakan. Selain itu pengembangan kompetensi masih dipandang seolah-olah menjadi hak yang inisiasinya datang dari Aparatur Sipil Negara secara individu, sehingga organisasi tidak memperhatikan secara fokus dan konsisten terhadap hal tersebut. Untuk itu perlunya dokumen perencanaan pengembangan Human Capital untuk disusun dan diterapkan di setiap instansi, baik pusat maupun daerah. Hal tersebut sejalan dengan manajemen talenta Aparatur Sipil Negara yang akan diterapkan di instansi pemerintah.
Komitmen dan pengawasan pimpinan unit organisasi juga diperlukan, agar pengembangan kompetensi berjalan secara berkesinambungan. Pengawasan dapat dilakukan dengan dibuatnya sistem berbasis teknologi informasi yang dapat memberikan notifikasi kepada pimpinan unit organisasi dan kepada Aparatur Sipil Negara mengenai informasi pengembangan kompetensi yang sudah dilakukan setiap tahunnya bagi masing-masing Aparatur Sipil Negara di instansi tersebut. Sistem tersebut nantinya bisa terintegrasi dengan sistem yang dimiliki oleh Badan Kepegawain Negara, yaitu IP PNS yang di dalamnya berisikan informasi Indeks Prestasi seorang Aparatur Sipil Negara yang salah satu komponen penilaian adalah pendidikan dan pelatihan, baik yang terkait fungsional maupun teknis yang sudah dijalani.
Beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi selama saya mengabdi menjadi Aparatur Sipil Negara merupakan realita yang berhadapan dengan cita yang selama ini diharapkan banyak pencari kerja diluar sana yang memandang Aparatur Sipil Negara sebagai sebuah pekerjaan impian. Masalah dan tantangan tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi kami Aparatur Sipil Negara diantara banyak pekerjaan rumah lainnya. Menjadi Aparatur Sipil Negara dituntut untuk memiliki komitmen dan integritas tanpa mengharapkan banyak hal terutama mengenai kesejahteraan. Sehingga untuk para pencari kerja yang ingin bergabung menjadi Abdi Negara dalam hal ini Aparatur Sipil Negara siapkan dirimu untuk bekerja ikhlas dan tulus demi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Comments