Asas Keterbukaan Dalam Omnibus Law Undang-Undang Tentang Cipta Kerja
- Mpi
- Oct 20, 2020
- 7 min read

sumber foto unsplash.com
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut UU 12 Tahun 2011 mengatur bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus berdasarkan pada asas kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.
Asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.[1]
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal sebuah konsep Omnibus law. Omnibus law berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Menurut Black Law Dictionary Ninth Edition “omnibus: relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having various purposes.”, sehingga dengan definisi tersebut dapat dimaknai sebagai penyelesaian berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu, tercantum dalam undang-undang, ke-dalam satu undang-undang payung[2]. Omnibus law sebuah metode atau teknik yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut undang-undang, atau beberapa ketentuan dalam undang-undang yang diatur ulang dalam satu undang-undang (tematik).[3]
UU 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 12 Tahun 2011 belum mengatur mengenai bagaimana metode omnibus law ini digunakan.
Tujuan adanya omnibus law ini antara lain mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien, meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait, menyeragamkan kebijakan pemerintah di pusat maupun daerah, mampu memutus rantai birokrasi, menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.[4]
Metode omnibus law di Indonesia secara substansi pernah dilakukan pada tahun 2017 melalui beberapa peraturan, antara lain Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang dan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha.[5]
Walaupun secara substansi omnibus law sudah pernah dilakukan di tahun 2017. Namun, metode ini secara eksplisit mulai diterapkan pada tahun 2020, ditandai dengan digunakannya istilah omnibus law dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1/DPR-RI/II/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2020 selanjutnya disebut Prolegnas prioritas tahun 2020.
Dalam Prolegnas prioritas tahun 2020, terdapat 4 (empat) rancangan undang-undang yang diberikan keterangan sebagai omnibus law, yaitu Rancangan Undang-Undang tentang Kefarmasian, Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja, Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan Rancangan Undang-Undang tentang Ibukota Negara.
Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja selanjutnya disebut RUU Ciptaker sebagai salah satu omnibus law dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020 terdiri atas 15 (lima belas) bab, 174 (seratus tujuh puluh empat) pasal, serta merubah 79 (seratus tujuh puluh sembilan) undang-undang dan 1203 (seribu dua ratus tiga) pasal. Pembahasan RUU Ciptaker antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dilakukan per klaster. Urgensi pembentukan RUU Ciptaker adalah untuk percepatan pemulihan ekonomi.
RUU Ciptaker diusulkan pada tanggal 17 Desember 2019 dan merupakan rancangan yang insiasinya berasal dari pemerintah, mulai dibahas dalam rapat kerja sebagai bagian pembicaraan tingkat I pada tanggal 14 April 2020, dan kemudian dilanjutkan dengan rapat dengar pendapat umum dengan beberapa narasumber diantaranya Prof. Djisman, Yose Rizal, Sarman Simanjorang, Bambang Kesowo, Prof. Dr. Satya Arinanto. Rapat dengar pendapat umum juga dilakukan dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Kamar Dagang Indonesia, Dewan Pers dan Aliansi Jurnalis Independen, Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah.[6]
Naskah RUU Ciptaker dapat diakses oleh publik melalui situs web resmi dpr.go.id, dalam laman program legislasi nasional RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law). Pada laman tersebut terdapat informasi kapan RUU diusulkan, disiapkan oleh Pemerintah, informasi mengenai tanggal pelaksanaan rapat, judul rapat, pasal-pasal yang dibahas, dengan siapa rapat dengar pendapat dilakukan, beserta dengan kelengkapan dokumen hasil pembahasan. Pada setiap jadwal pembahasan yang terdapat pada laman, kelengkapan dokumen hasil pembahasan yang dilampirkan beragam, ada yang hanya laporan singkat, tetapi ada juga yang melampirkan daftar inventarisasi masalah.
RUU Ciptaker sudah disahkan menjadi Undang-Undang Cipta Kerja selanjutnya disebut UU Ciptaker oleh Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam Paripurna pada tanggal 5 Oktober 2020. Sejak disahkannya UU Ciptaker kritik terus disuarakan oleh sejumlah masyarakat. Tidak hanya dipandang bermasalah secara substansi, UU Ciptaker ini juga dinilai cacat formil terkait pembentukannya. Dikutip dari laman Kompas.com Peneliti Bidang Konstitusi dan Ekonomi dari Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Rahmah Mutiara menuturkan, salah satu indikasi pembentukan UU Cipta Kerja cacat formil yakni dokumen dan rekam jejak penyusunan yang sulit diakses. Pihak-pihak yang diundang dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) pun dinilai hanya dari kelompok-kelompok tertentu.[7]
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, Supratman Andi Atgas mengklaim pembahasan omnibus law UU Ciptaker dilakukan secara terbuka dan bisa diakses oleh masyarakat. Seluruh proses pembahasan ditayangkan secara langsung melalui TV Parlemen dan media sosial Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.[8]
Selain sulitnya dokumen dan rekam jejak penyusunan untuk diakses. Dua minggu setelah UU Ciptaker yang sudah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah di rapat paripurna, naskah UU Ciptaker belum juga dapat diakses publik. Ditambah munculnya pemberitaan mengenai jumlah halaman naskah UU Ciptaker yang berubah-ubah, seperti klaim yang sempat diucapkan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Golkar, Azis Syamsuddin yang menyebut dokumen naskah setebal 812 (delapan ratus dua belas) halaman yang dibahas sebanyak 88 (delapan puluh delapan) kali dan pertemuan dengan ragam tokoh masyarakat sebanyak 89 (delapan puluh sembilan) kali.[9]
Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Indra Iskandar, mengatakan pihaknya berjanji akan merilis draft resmi melalui kanal resmi jika sudah ditandatangani Presiden Jokowi dalam waktu kurang dari 30 hari.[10]
Di sisi lain Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Fajri Nursyamsi, membenarkan bahwa memang penyebarluasan draf UU yang sudah disahkan memang harus menunggu tanda tangan Presiden terlebih dahulu. Fajri menyampaikan setelah pengesahan UU pada 5 Oktober, banyak beredar draf UU yang membingungkan publik: mana draf yang asli dan mana yang palsu. Fajri menilai DPR RI tak berupaya membuat kejernihan informasi.[11]
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus menerapkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya adalah asas keterbukaan. Asas keterbukaan ini diwujudkan pada tiap tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka, serta seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan.
Pada tahap perencanaan masyarakat bisa mendapatkan informasi mengenai rancangan undang-undang yang diusulkan dan menjadi prioritas setiap tahun, melalui program legislasi nasional yang ditetapkan dengan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat. Informasi mengenai program legislasi nasional bisa diakses melalui laman dpr.go.id pada menu legislasi.
Pada tahap penyusunan dan pembahasan, pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat bisa melibatkan masyarakat melalui uji publik, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, mengunggah naskah akademik dan naskah rancangan undang-undangan pada laman resmi instansi untuk mendapatkan masukan dari masyarakat umum, mengundang perwakilan dari setiap elemen masyarakat, seperti akademisi, tokoh masyarakat, perwakilan organisasi masyarakat.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU 12 Tahun 2011 bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan partisipasi masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan secara tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat disini adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan tersebut dan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Dalam proses penyusunan dan pembahasan UU Ciptaker belum melibatkan pemangku kepentingan dari kalangan buruh atau organisasi masyarakat. Hal tersebut dapat terlihat dari belum adanya rekam jejak pembahasan dengan pemangku kepentingan tersebut pada situs web resmi dpr.go.id, dalam laman program legislasi nasional RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law). Sehingga menimbulkan gelombang penolakan dari kalangan pemangku kepentingan tersebut.
Sulitnya mendapatkan akses terhadap dokumen penyusunan selama pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat bisa terlihat dari dokumen yang diunggah pada situs web resmi dpr.go.id, dalam laman program legislasi nasional RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) yang belum lengkap dan seragam di setiap rapatnya.
Munculnya kritikan atas ketidakterbukaan informasi dan sulitnya akses dalam pembentukan UU Ciptaker juga didukung dengan tidak adanya kepastian hukum mengenai dasar penggunaan metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Belum ada pengaturan tentang bagaimana teknis penggunaan metode ini dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Omnibus law sebagai metode menggabungkan beberapa pengaturan dengan mencabut beberapa undang-undang digabungkan dalam satu undang-undang menimbulkan kesulitan tersendiri, karena pada implementasinya pembahasan yang dilakukan dalam UU Ciptaker dibagi berdasarkan klaster. Hal tersebut dilakukan untuk menyiasati perubahan (seratus tujuh puluh sembilan) undang-undang dan 1203 (seribu dua ratus tiga) pasal.
Pembagian berdasarkan klaster ini mempersulit pemangku kepentingan yang ikut dalam pembahasan atau masyarakat umum untuk saling mengamati substansi pasal per pasal secara runtut dan saling menyesuaikan antara satu klaster dengan klaster yang lain apabila memiliki keterkaitan. Hal ini dapat terlihat dari dokumen yang diunggah pada situs web resmi dpr.go.id, dalam laman program legislasi nasional RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) setiap rapat yang dilaksanakan yang dipecah pasal per pasal sesuai dengan pembagian pada saat pembahasan. Pembagian berdasarkan klaster tersebut juga mendegradasi asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Penulis berkesempatan juga untuk mereviu pasal dalam RUU Ciptaker, tetapi hanya 1 (satu) klaster yang terdiri dari 2 (dua) pasal saja yang hanya terkait dengan instansi tempat Penulis bekerja. Sehingga kita tidak bisa membaca daftar inventarisasi masalah secara utuh dan menyeluruh, serta tidak bisa memeriksa pasal atau klaster lain.
Metode omnibus law ini perlu diatur dalam UU 12 Tahun 2011 dan peraturan pelaksanaannya, agar memberikan kepastian hukum dalam penerapannya. Dengan adanya pengaturannya secara teknis dalam peraturan pelaksanaan UU 12 Tahun 2011 tersebut dapat menjadi acuan dan memberikan kemudahan dalam mengimplementasikannya. Sehingga penerapan metode omnibus law ini tidak dilakukan berdasarkan penafsiran pihak-pihak tertentu dan rancu.
Omnibus law UU Ciptaker menjadi sebuah pengalaman dan pelajaran berharga bagi pembentuk peraturan perundang-undangan untuk terus melakukan perbaikan dalam menerapkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dalam hal ini asas keterbukaan. Dengan terpenuhinya asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dapat menghindari suatu peraturan perundang-undangan menjadi cacat formil dan tidak menimbulkan gelombang penolakan dari masyarakat atau pemangku kepentingan yang merasa tidak dilibatkan dalam pembentukannya.
[1] Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan [2] Yanti Debora, "Arti dan Sejarah Omnibus Law Atau UU Sapu Jagat" (https://tirto.id/arti-dan-sejarah-omnibus-law-atau-uu-sapu-jagat-f5Du, Diakses 19 Oktober 2020, 17:48) [3] Ima Mayasari, “Menyoal Dukungan Riset dan Inovasi RUU Cipta Kerja”, Juni 2020, hal. 4 [4] Wahyu Setiawan, “Dukungan Riset dan Inovasi RUU Cipta Kerja”, Juni 2020, hal. 3 [5]Cyntia Devina, “Menelusuri Fakta Omnibus Law” (http://indonesiabaik.id/infografis/menelusuri-fakta-omnibuslaw#:~:text=Indonesia%20sendiri%20pernah%20melakukan%20omnibus,Kepentingan%20Perpajakan%20menjadi%20Undang%2DUndang, Diakses 19 Oktober 17:49) [6]“RUU tentang Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law)”, (http://www.dpr.go.id/uu/detail/id/442, Diakses 19 Oktober 2020, 18:14) [7] Tsarina Maharani, “Sulitnya Mengakses Dokumen Penyusunan dan Draf Final UU Cipta Kerja.", (https://nasional.kompas.com/read/2020/10/19/08511781/sulitnya-mengakses-dokumen-penyusunan-dan-draf-final-uu-cipta-kerja, 19 Oktober 2020, 21:05) [8] Ibid [9] Haris Prabowo, “Omong Kosong Transparansi DPR dan Pemerintah Soal UU Cipta Kerja”, (https://tirto.id/omong-kosong-transparansi-dpr-dan-pemerintah-soal-uu-cipta-kerja-f54x, 19 Oktober 2020, 21:23) [10] Ibid [11] Ibid
Comments